Ini kisah Taufik, pejuang keuangan yang pantang menyerah pada keadaan.
“Biar bagaimanapun, hidup terus berjalan. Marah dan terus-menerus meratapi keadaan tidak akan mengubah apa pun. Jadi, ya sudah, jalani saja.”
Mochammad Taufik Faturrahman tidak sampai pada kesimpulan itu dengan cara yang mudah. Dia belajar untuk melepaskan kenyamanan dan mimpinya demi menjaga kesinambungan hidup keluarga.
Awal pandemi 2020 lalu, dia mengalami berbagai kejutan tak terlalu menyenangkan dalam hidup. Ayahnya yang hanya beberapa bulan lagi purnabakti terpaksa harus pensiun lebih awal. Ibunya yang masih aktif bekerja terpaksa juga menerima dirumahkan.
Seakan tidak cukup, dana atas masa tugas tersebut tidak serta-merta cair. Praktis, Taufik menjadi satu-satunya pihak yang menanggung beban finansial keluarga. Dia harus menghidupi kedua orang tuanya, dirinya sendiri, dan tiga adiknya yang masih bersekolah.
Penghasilan Taufik yang sebelumnya sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan maupun keinginan pribadi pun goyah. Belum lagi, pekerjaannya sebagai penyelenggara event tidak lagi berjalan mulus. Pandemi seperti ini, mana ada event yang masih berlangsung?
“Beruntungnya, gaji dan tunjangan tetap dibayarkan meski WFH. Namun, kalau tidak acara terus-terusan, saya juga khawatir. Berapa lama lagi sebelum saya akhirnya harus dirumahkan seutuhnya?”
Kegelisahan yang belum tuntas diperparah dengan adanya tagihan utang bank atas nama dirinya sebesar 23 juta. Dirinya yang tak pernah berutang pun meradang. Dari mana datangnya tagihan dengan angka tak sedikit itu?
“Rupanya, Ibu saya di akhir 2019 kemarin meminjam ke bank atas nama saya, tanpa sepengetahuan saya, untuk keperluan renovasi rumah. Karena secara usia saya lebih muda dan jenjang karir masih panjang, bank lebih mudah memberi pinjaman.”
Di pekan yang sama, dua adiknya yang kembar menyodorkan lembar tagihan biaya kuliah. Sialnya, terlepas dari kondisi pandemi maupun status keduanya yang merupakan mahasiswa tingkat akhir, biaya kuliah harus dibayarkan secara utuh tanpa potongan apa pun.
“Saya bingung. Sejujurnya, saya nggak punya tabungan. Satu-satunya simpanan yang saya punya adalah tabungan untuk menikah akhir 2020. Tapi, debt collector sudah mulai mengganggu, mulai dari menelepon, datang ke rumah, sampai datang ke kantor.”
Dia harus segera melunasi utang. Kalau urusan debt collector tidak selesai, maka bukan tidak mungkin dia akan kehilangan pekerjaannya lebih cepat sesuai peraturan dari perusahaan. Maka, satu-satunya jalan adalah dengan menggunakan tabungan menikahnya.
Sayangnya, hal itu justru membuatnya harus kehilangan hal lain. Rencana menikah terpaksa harus batal dan hubungannya dengan sang kekasih terpaksa harus kandas sekalipun beberapa vendor telah dibayar.
Tidak mudah, memang, tetapi Taufik harus terus melanjutkan hidup. Utang bank telah lunas, tagihan kuliah telah dibayarkan. Kini, dia masih harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terbatasnya dana bahkan membuatnya harus menjual pula motor kesayangan. Taufik kembali menata hidup. Pengeluaran sekecil apa pun sangat diperhitungkan agar tetap bisa makan dan bertahan. Mau tak mau, dia bahkan harus menurunkan batas kenyamanan hidup yang selama ini dinikmati.
“Keluarga saya nggak suka makan mie instan. Tapi, kami harus berkali-kali makan mie instan agar perut terisi. Urusan listrik, internet, dan lain-lain harus di-downgrade supaya besok tetap bisa makan.”
Namun, hidup tak selamanya di bawah. Di tengah ketidakpastian tentang masa depan pekerjaan, dia mendapat promosi meski ke tim sales yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya.
Beberapa bulan berikutnya, kedua adiknya lulus dan bahkan langsung mendapat pekerjaan. Perlahan-lahan, Taufik kembali bernapas lega. Semangatnya untuk kembali menyongsong masa depan kembali bangkit.
“Salah satu pelajaran paling penting buat saya dari pandemi ini adalah pentingnya punya persiapan dan betul-betul membedakan mana kebutuhan dan keinginan. Biaya sekecil apa pun, seperti biaya admin saat transfer antarbank, ternyata sering diremehkan. Padahal kalau dikumpulkan, jumlahnya juga lumayan.”
Di samping membuat skala prioritas, Taufik juga lebih selektif dalam memilih metode pembayaran. Flip menjadi tool yang membantunya lebih menghemat dana untuk berbagai keperluan transfer yang cukup sering dilakukannya.
Kondisi keuangan yang membaik pun membuat Taufik kembali berusaha mewujudkan mimpi yang sempat pupus. Taufik sekali lagi mendatangi sang kekasih untuk mencoba memperbaiki hubungan dan meneruskan apa yang terjadi.
Kali ini, gayung bersambut. Pandemi membuat keduanya belajar lebih banyak dalam menghadapi dan menyikapi segala sesuatu, termasuk soal hubungan. Taufik pun bersyukur, memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri lewat situasi yang tak mudah dan menyaksikan pelangi setelah badai yang keruh.